Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa kekerasan di lingkungan pendidikan sering kali terjadi, seakan-akan mahasiswa sudah mulai hilang jati diri sebagai orang terpelajar. Fenomena premanisme acap melekat pada jiwa mahasiswa. Kampus yang seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu justru dijadikan sebagai medan perang layaknya memperebutkan kekuasaan.

Seperti halnya di Universitas Negeri Makassar yang merupakan satu dari sekian banyak kampus berbasis pendidikan. Kampus yang identik dengan Perahu Pinisi sebagai identitas kebanggaan Sulawesi-Selatan, kini dijuluki oleh masyarakat sebagai kampus rawan tawuran atau kampus
barbar. bentrok antar mahasiswa merupakan bentuk kegagalan pemahaman tentang bagaimana esensi pendidikan.
 

Kekerasan di dunia pendidikan seakan tidak ada habisnya. Dari kasus tawuran, penikaman, hingga pengeroyokan yang seakan-akan dijadikan santapan keseharian. Terdapat beberapa rentetan kasus dalam dua bulan terakhir, seperti yang dilansir dari Tribunnews.com pada bulan Oktober, dua mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) terkena tikaman senjata tajam yang diduga pelakunya dari Fakultas Seni dan Desain (FSD) hingga berujung bentrok antarkelompok.

Pada senin, tanggal 21 Oktober lagi-lagi terjadi perselisihan oleh fakultas yang sama. Di mana dari kejadian tersebut tujuh mahasiswa dikabarkan terluka, dua mahasiswa diantaranya terkena anak panah atau busur. Berdasarkan keterangan salah seorang petugas keamanan di kampus UNM Parang Tambung, sekelompok mahasiswa Fakultas Seni melakukan aksi penyerangan ke Fakultas Bahasa dan Sastra hingga mengakibatkan bentrokan terjadi. Berselang dua hari, tepat 23 Oktober, dua mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra lagi-lagi diserang oleh oknum berkedok Orang Tak Dikenal (OTK) yang mengakibatkan para korban harus menjalani penanganan serius di rumah sakit akibat luka yang dialami. Sungguh ironis.

Universitas Negeri Makassar memang mempunyai sejarah panjang perihal bentrok. Jauh sebelum saya menjadi mahasiswa, terdengar sudah banyak korban jiwa dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa kelam di kampus ini. Mulai dari konflik Fakultas Teknik vs Fakultas Seni, Fakultas Bahasa vs Teknik, hingga Fakultas Seni vs Fakultas Bahasa. Bentrok yang seakan dijadikan ajang perlombaan layaknya sepak bola sebagai hobi yang harus dimenangkan setiap pertandingannya. Pemicunya bahkan biasa dari hal-hal sepele yang sebenarnya bersifat individual kemudian dibesar-besarkan hingga berujunglah aksi serang sebagai upaya solusi untuk menyelesaikan masalah.

Sebenarnya, Senin dan Kamis itu merupakan hari dalam berpuasa sunah, namun beda halnya dengan kampus UNM Parangtambung, malah sebaliknya dijadikan momentum untuk perang, hari kebesaran katanya. Hal ini, dikarenakan adanya oknum-oknum mahasiswa provokator yang akibatnya menular kemahasiswa-mahasiswa lainnya. Mahasiswa yang harusnya mencerminkan diri kepada masyarakat sebagai generasi calon pemimpin bangsa yang beridealis tinggi akan perubahan-perubahan serta mampu mengaplikasikan nilai-nilai budi pekerti di lingkup masyarakat ternyata sebaliknya menjadi mahasiswa yang berkarakteristik jiwa premanisme.

Rusaknya fasilitas kampus dan kendaraan mahasiswa adalah dampak dari perilaku premanisme mereka!

Pengerusakan kendaraan-kendaraan menjadi sasaran yang empuk bagi oknum-oknum pelaku bentrok. Seperti yang terjadi baru-baru ini, munculnya sekelompok oknum mahasiswa yang melakukan penyerangan dengan merusak dan membakar kendaraan milik mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra. Akibatnya mahasiswa yang tidak ikut terlibat dan tidak tahu pokok permasalahan, kini menanggung beban biaya atas aksi tak terpuji tersebut.

Terjadinya bentrok menunjukkan lemahnya pimpinan kampus!

Minimnya kesadaran dan rasa tanggungjawab seorang pimpinan birokrasi dalam menyelesaikan sebuah persoalan. Bahkan pihak birokrasi pun enggan memberikan tanggapan, seakan-akan masalah seperti ini adalah hal yang biasa. Tugas dari pemimpin, bukan cuma di dalam ruang kantor ataupun hanya menunggu kabar, tetapi turut mencari sebuah solusi agar kejadian serupa tidak terulang lagi, karena sejatinya pemimpin harus bersikap bijaksana dan amanah.

Terakhir, permasalahan bisa diselesaikan dengan jalan damai atau bermusyawarah antar petinggi masing-masing Fakultas, Pimpinan Birokrasi harus menemukan solusi dan tentu juga pihak Lembaga Kemahasiswaan harus turut serta terlibat dalam usaha membangun kedamaian dari pada terus-terusan pada jalan kekerasan yang belum tentu bias menyelesaikan masalah. Sebagai mahasiswa, marilah kita saling mawas diri atas peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, sudah banyak jatuh korban bahkan fasilitas kampus hancur. Perselisian akan berakhir kalau kesadaran ditanamkan pada diri kita. Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan, seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.

Salam mahasiswa!!!

oleh, Erlan Saputra
Mahasiswa Universitas Negeri Makassar
Tulisan ini dimuat di koran Tribun Timur Makassar pada Rabu, 27 N0vember 2019